(0362) 3428421
tejakula@bulelengkab.go.id
Kecamatan Tejakula

Wayang Wong Tejakula, Aset Budaya Buleleng Untuk Dunia

Admin tejakula | 07 Februari 2019 | 2088 kali

Singaraja | Dua karakter Hanoman dan Sugriwa terpasang gagah di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Buleleng, Bali. Dua karakter dalam wujud patung ini adalah adopsi dari karakter-karakter dalam drama tradisional Wayang Wong asal Desa Tejakul. Karakter Hanoman dan Sugriwa ini dipasang saat detik-detik terakhir Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Gede Suyasa akan meninggalkan jabatan di dinas ini untuk menjabat jabatan baru di tempat lain. Karakter Hanoman dan Sugriwa ini dipasang di lobi kantor dinas untuk sebuah apresiasi seni yang tiada tara. Wayang Wong adalah aset budaya lokal Buleleng namun kini sudah menjadi sebuah warisan budaya dunia yang telah ditetapkan oleh UNESCO sejak tahun 2015 lalu. Kesenian Wayang Wong ditetapkan sebagai warisan dunia dalam kategori Sendratari Wayang Wong yang digolongkan sebagai tarian semi-sakral. Penetapannya melalui sidang ke-10 Komite Warisan Budaya Tak Benda UNESCO di Windhoek, Namibia. Dalam siding itu, Unesco telah menetapkan tiga genre tari tradisi di Bali sebagai warisan budaya tak benda dunia. Wayang Wong masuk dalam tiga genre tari tradisi di Bali (Three Genre of Traditional Dance in Bali) yang terdiri dari sembilan tari tradisional Bali resmi dimasukkan ke dalam UNESCO Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity, atau Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan,. Usia Wayang Wong diperkirakan sudah mencapai lebih dari tiga abad namun tetap lestari sampai kini. Dari sisi kesakralan, Wayang Wong ini hanya bisa ditarikan oleh orang-orang tertentu warga Desa Tejakula. Jangan heran, sekalipun seseorang tidak mempunyai latar belakang sebagai penari, namun jika sudah “ditunjuk” secara niskala maka Dia adakan dengan sendirinya bisa menarikan tarian Wayang Wong. Mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Gede Suyasa pernah mengungkapkan punya harapan besar terhadap kesenian ini hingga dipasang sebagai sebuah ikon di kantor Dinas Kebuayaan dan Pariwisata. Harapan itu, Wayang Wong ini bisa menjadi aset budaya yang bisa dihormati, dilestarikan serta menjadi bagian dari sebuah pendidikan budaya oleh semua kalangan masyarakat di Buleleng. “Ini adalah bentuk apresiasi, Wayang Wong sudah menjadi warisan dunia yang ditetapkan oleh UNESCO. Dunia saja mengakui, kenapa kita tidak. Karena itu saya berharap besar instansi lain juga memberi apresiasi yang sama terhadap kesenian tua ini,” ujar Suyasa beberapa waktu lalu. Di sisi lain, Salah satu penari Wayang Wong, Gde Komang mengungkapkan cerita yang dibawakan dalam setiap pementasan adalah bagian-bagian dari epik Ramayana. Wayang Wong ini selalu ditarikan di sejumlah Pura Kahyangan tiga di Desa Tejakula ketika digelar piodalan. Siapapun tidak bisa menolak jika sudah ditunjuk menjadi penari Wayang Wong. Hal itu terjadi secara alamiah. “Pada dasarnya ini juga bentuk lain dari kewajiban Kami untuk ngayah. Ini terjadi secara alamiah dan tidak bisa ditolak. Siapapun warga desa yang ditunjuk sesuai dengan keyakinan yang kami percayai maka Dia harus melaksanakan menjadi penari. Dan secara otomatis akan bisa menarikan ini,” ujar Gde Komang yang sudah menari sejak lama. Dari sisi sejarah, kata Gde Komang Wayang Wong ini diperkirakan pada abad ke-17 di Desa Tejakula. Berbagai mitos memang hidup dalam perjalanan sejarah seni Wayang Wong sehingga sampai kini bisa lestari dan masih ditarikan secara sakral. Konon, beberapa seniman cukup punya peran penting dalam kemunculan Wayang Wong ini. Ada I Gusti Ngurah Jelantik , seorang seniman yang datang ke Tejakula pada abad ke-16, serta I Dewa Batan seniman yang datang ke Tejakula pada abad ke-15. Mereka diperkirakan membuat topeng-topeng berbahan kayu dengan mengambil karakter-karakter dari epik Ramayana. Sebanyak 175 buah topeng yang dibuat pada masa itu. Ada topeng Sugriwa, Rama, Laksamana, Wibisana, Punakawan, Rahwana, Kumbakarna, hingga kelompok raksasa serta topeng-topeng karakter lainnya. “Kami perkirakan topeng-topeng ini sudah berumur 3,5 abad. Sampai kini topeng-topeng yang asli masih tersimpan dan dilestarikan dan disakralkan masyarakat. Topeng-topeng yang asli ditarikan hanya ketika ada pementasan di pura-pura. Seluruh topeng di-stana-kan di Pura Maksan Tejakula” papar Gde Komang. Topeng-topeng tersbeut hanya akan dipentaskan saat piodalan ageng di Pura Kahyangan Tiga, ngenteg linggih, serta piodalan di Pura Danka. Sebelum dimainkan, topeng-topeng juga harus melalui proses upacara bakti pamungkah yang dilangsungkan di Pura Maksan. Dari sekian abad perjalanan Wayang Wong dalam pementasan sakralnya, justru Wayang wong ini sangat diminati wisatawan. Hingga akhirnya di tahun 1980-an, topeng-topeng Wayang Wong dibuatkan duplikatnya. Duplikat inilah yang ditarikan untuk kepentingan umum dan bisa ditarikan di banyak tempat. |NP| TOPIKSakralTejakulaWayang Wong