Satu lagi tradisi unik di Kabupaten Buleleng adalah tradisi Mecakcakan. Tradisi ini berupa Magibung atau makan bersama dilakukan oleh krama Desa Pakraman Sambirenteng, Desa Sambirenteng, Kecamatan Tejakula, Buleleng. Krama Desa Magibung dengan Lauk Be Cundang SINGARAJA, NusaBali Magibung ini dengan menu lauk be cundang (daging ayam yang kalah bersabungan, Red) menjadi menu utama. Tradisi ini berlangsung pada Sabtu (9/1) malam, di Catus Pata (perempatan agung,Red) Desa Sambirenteng dan lapangan sepak bola, yang bersebelahan dengan kantor Perbekel. Semua krama desa tumpah ruah ke jalan untuk melakukan tradisi ini. Meski tidak ada sumber sejarah yang jelas, tradisi Macakcakan diyakini sudah berlangsung beratus-ratus tahun. Hal tersebut disampaikan oleh Kelian Desa Pakraman Sambirenteng, Nengah Mas. Ia mengatakan, tradisi ini berdasarkan cerita dari leluhurnya terdahulu. Awalnya dilaksanakan karena desa mengalami bencana, menjelang Tilem Kapitu dan terjadi setiap tahunnya. Bencana dimaksud diantaranya banyak krama yang jatuh sakit, terjadi keributan karena salah paham antar krama, sehingga pemimpin desa saat itu meminta petunjuk pada dewa. Saat itulah dikatakan desa pakraman harus menggelar Pacaruan setiap Tilem Kapitu, menggunakan caru Panca Cata di perempatan agung desa. “Karena terus ada musibah, tetua kami dulu mencari pawisik dari Ida Bhatara yang ada disini. Disuruhlah untuk melaksanakan pecaruan manca sata setiap tilem kapitu,” ujar nengah Mas, Kelian Desa Pakraman Sambirenteng, Sabtu (9/1) malam, ditemui usai upacara. Selain melakukan pacaruan, krama desa Sambirenteng juga melakukan tradisi Mecakcakan. Dimana semua rangkaian tradisi ini adalah simbolik untuk menyeimbangkan kebaradaan alam dan manusia sebagai ciptaan Tuhan/Ida Sanghyang Widhi Wasa. Macakcakan diawali dengan matur piuning di Pura Desa. Kemudian Macaru di perempatan desa merupakan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan) dan terakhir Macakcakan adalah simbol hubungan manusia dengan manusia (Pawongan). Tradisi ini memerlukan waktu banyak, antara lain, untuk mempersiapkan hidangan Cakcakan yang berbahan dasar be cundang. Untuk mendapatkan be cundang harus melakukan tabuh rah. Upacara tersebut pun digelar, di jaba tengah Pura Sanggah Desa, sekitar 1 Km dari Pura Desa. Semua krama Desa Sambirenteng memulai acara tabuh rah sejak Jumat (8/1) pagi. Dalam proses tabuh rah yang dilaksanakan pun, terdiri dari beratus-ratus seet (sabungan) ayam. Seperti yang diadakan ini, sedikitnya terdapat 150 seet. Hal tersebut terjadi karena dalam aturan adat, masing-masing krama desa harus membawa satu ekor ayam jago untuk diadu. Bagi yang tidak memiliki ayam jago, dapat membeli atau menggantinya dengan uang. Upacara tabuh rah tersebut berlangsung hingga Sabtu (9/1) siang. Selanjutnya, ayam aduan yang kalah akan dikumpulkan dan dipakai untuk bahan baku makanan Magibung. Sedangkan ayam yang menang dapat dibawa pulang. Ayam-ayam aduan yang kalah tersebut kemudian dibawa ke wantilan desa untuk dimasak oleh juru ebat (tukang masak) mencapai 132 orang. “Seluruh krama disini punya tugas masing-masing sesuai dengan keahliannya. Ada sebagai tukang banten, tukang gambel, juru igek, juru mebat dan juru angkut,” imbuh Nengah Mas. Semua ayam aduan yang kalah tersebut selanjutnya diolah menjadi beberapa jenis makanan, diantaranya lawar dan timbungan. Untuk melengkapi hidangan tersebut, setiap krama pun diwajibkan untuk membawa ¾ Kg nasi yang akan dimakan bersama-sama. Ketika hidangan sudah jadi, disajikan dan ditakar diatas klatkat besar (benda berbentuk segiempat yang dibuat dari bambu) dan siap dibagikan setelah upacara pecaruan selesai dilaksanakan. 7k23